Saturday, April 27, 2013

Contoh Persengketaan Internasional III

7. Sengketa Sipadan dan Ligitan 

adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.


Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.



Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpurpada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997, sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia.

Keputusan Mahkamah Internasional Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbanganeffectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.


8. Sengketa perbatasan sekitar Candi Preah Vihear antara Kamboja dan Thailand

Diharapkan mediasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua ASEAN merukunkan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen dan Perdana Menteri Thailand (waktu itu) Abhisit Vejjajiva dalam masalah Candi Preah Vihear membuahkan hasil. Itu karena konsep Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN yang dicanangkan para kepala negara dan pemerintahan ASEAN menggambarkan mekanisme penyelesaian sengketa antarnegara ASEAN. Di samping itu, Dewan Keamanan PBB telah memberikan amanah kepada ASEAN untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai.

Masalahnya kemudian mengganjal mengingat inti persoalannya kompleks karena menyangkut kedaulatan wilayah yang diperebutkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, setiap pihak dalam sengketa wilayah itu berupaya sekuat mungkin mempertahankan posisi masing-masing.

Anatomi sengketa

Sejak Perancis menarik diri dari wilayah Indochina (1950), Candi Preah Vihear—dibangun sekitar abad ke-11—telah menjadi wilayah yang diperebutkan antara Kamboja dan Thailand. Meskipun jalan menuju Candi Preah Vihear lebih mudah ditempuh dari wilayah Thailand, Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, telah memutuskan bahwa Kamboja adalah pemilik kedaulatan atas Candi Preah Vihear dan wilayah sekitarnya. Meski demikian, Thailand tetap menuntut bahwa wilayah seluas 4,6 kilometer persegi di dekat Candi Preah Vihear masuk dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan latar belakang sejarah.

Sengketa ini kemudian semakin muncul ke permukaan setelah UNESCO pada Juni 2008 menetapkan Candi Preah Vihear sebagai salah satu dari World Heritage Sites. Langkah badan internasional ini memicu letupan rasa nasionalistik pihak-pihak yang bersengketa.

Pasukan Thailand dan Kamboja pun terlibat dalam pertempuran sengit, bahkan menggunakan senjata api dan roket, pada 15 Oktober 2008. Sebulan sebelum KTT ASEAN di Jakarta, Mei 2011, kembali terjadi pertempuran yang lebih sengit di perbatasan sekitar Candi Preah Vihear. Setiap pihak telah menggunakan senjata artileri modern. Menurut laporan media massa, 20 orang meninggal dan sekitar 100.000 penduduk terpaksa mengungsi.

Keadaan kemudian mereda setelah komandan pasukan Thailand dan Kamboja sepakat melakukan ”genjatan senjata” dan pos-pos penjagaan di perbatasan, seperti di Ta Moan dan Ta Krabey, dibuka kembali sehingga memungkinkan adanya lalu lintas penduduk ataupun barang melewati daerah perbatasan.

Atas permintaan pihak-pihak yang bersengketa, Mahkamah Internasional di Den Haag telah menangani kembali kasus sengketa Candi Preah Vihear. Keputusan Mahkamah Internasional: setiap pihak harus menarik pasukannya dari wilayah yang diperebutkan.

Guna memelihara perdamaian, dibentuk zona bebas militer seluas 2,5 kilometer persegi, serta pasukan Thailand dan Kamboja dilarang memasukinya, kecuali pasukan Indonesia sebagai pengawas dari ASEAN. Juru bicara Mahkamah Internasional di Den Haag menegaskan, setiap pihak yang bersengketa harus menghormati keputusan tersebut karena merupakan kewajiban hukum internasional.

Masalahnya, bagaimana mengatur penempatan pasukan-pasukan pengawas, baik di wilayah Thailand maupun wilayah Kamboja. Hal ini sulit dilakukan karena the Thai-Cambodian Joint Commission on Land Demarcation tak kunjung menyelesaikan tugasnya. Dengan demikian, the Thai-Cambodian Joint Boundary Commission mengalami kesulitan mengajukan usul penempatan pasukan pengawas perdamaian ASEAN tersebut.

Indonesia selaku Ketua ASEAN telah mencoba mencari terobosan dengan menyelenggarakan pertemuan tiga negara: Thailand, Kamboja, dan Indonesia, di Bogor, Jawa Barat, Indonesia, sebagai kelanjutan pendekatan KTT ASEAN. Kenyataannya hanya delegasi Kamboja yang bersedia hadir, sedangkan Thailand tak mengirimkan delegasinya.

Tampaknya golongan garis keras dari Partai Demokrat di Thailand didukung kelompok militer bersikeras agar masalah diselesaikan secara bilateral. Sikap ini memacetkan perundingan. Sementara Kamboja melihat penyelesaian sengketa secara bilateral yang bersifat asimetris tak akan menampung kepentingannya.

Pemilu di Thailand

Yingluck Shinawatra dari Partai Pheu Thai muncul sebagai pemenang pemilu 3 Juli 2011, di Thailand, dan disahkan Raja sebagai PM wanita pertama di Negeri Gajah itu. Adik bekas PM Thaksin Shinawatra segera mengangkat Surapong Tochakchaikul sebagai Menteri Luar Negeri, menggantikan Kasit Piromya. Tampak tanda-tanda bahwa hubungan Thailand dan Kamboja semakin hangat dan bergerak ke arah détente. Thaksin Shinawatra pernah diangkat menjadi penasihat PM Hun Sen untuk memajukan ekonomi Kamboja.

Sabtu, 24 September 2011, telah dilangsungkan pertandingan persahabatan antarkesebelasan sepak bola Kamboja yang dipimpin PM Hun Sen dengan kesebelasan Thailand dengan kapten mantan PM Thailand, Somchai Wongsawat. Pertandingan di Phnom Penh dengan skor 10-7 untuk kemenangan Hun Sen itu disiarkan secara luas oleh media massa kedua negara. Sebelum pertandingan, Hun Sen menyatakan bahwa hari itu adalah hari bersejarah karena menandakan masa kelam antarkedua negara telah berlalu.

Dalam kaitan ini, Menlu Surapong telah mengambil langkah-langkah melicinkan proses kesepakatan penyelesaian sengketa Candi Preah Vihear. Duta Besar Asda Jayanama, mantan Wakil Tetap Thailand di New York yang menjadi Ketua Delegasi Thailand dalam the Thai-Cambodian Joint Commission on Land Demarcation, telah diganti oleh Bundit Sottiplarit. Dubes Virachai Plasai, mantan Dubes Thailand di Belanda, telah diberhentikan sebagai penasihat the Thai-Cambodian Joint Boundary Commission. Diharapkan aktor-aktor baru Thailand ini mampu menciptakan situasi kondusif mengarah pada kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak.

Perkembangan ini sebaiknya ditangkap oleh Indonesia selaku Ketua ASEAN untuk segera aktif memfinalkan perdamaian antara Thailand dan Kamboja. Pasukan Indonesia sudah harus mulai beroperasi sebagai pengawas di setiap wilayah. Sebisa mungkin, tahun ini sengketa diusahakan beralih menjadi perdamaian.

9. Sengketa internasional antara Indonesia dan timor leste.

Klaim wilayah Indonesia, ternyata bukan hanya dilakukan oleh Malaysia, tetapi juga oleh Timor Leste, negara yang baru berdiri sejak lepas dari Negara KesatuanRepublik Indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh sebagian warga Timor Leste tepatnya di perbatasan wilayah Timor Leste dengan wilayah Indonesia, yaitu perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (RI) dengan Timor Leste.

Penyelesaian sengketa

Permasalahan perbatasan antara RI dan Timor Leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Timor Leste dan kemungkinan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapatkan penyelesaian.Masalah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, khususnya di lima titik yang hingga kini belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Lima titik tersebut adalah Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga Timor Leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan Kabupaten Belu dan dua di perbatasan Timor Leste dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).Berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan. Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari kedua negara yakni:
Penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah.

Semula, pemerintah Indonesia dan Timor Leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu berubah-ubahSelain itu, ternak milik warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua negara.
Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.warga kedua negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas negara

No comments:

Post a Comment